Setelah menikah, proses penyesuaian sepasang kekasih bagaikan kembali ke titik awal. Dalam ikatan pernikahan bisa muncul kejutan-kejutan kecil seputar sifat atau kebiasaan pasangan yang tak ditemukan di masapertunangan ataupun berpacaran. Ada juga yang berharap kebiasaan buruk di masa sebelum menikah bisa menghilang setelah kekasih menjadi suami atau istri. Namun, yang ditemukan justru semakin panjangnya kebiasaan buruk pasangan.
Sebetulnya tidak ada yang berubah pada sifat asli seseorang meskipun ia telah menikah. Kalaupun terlihat semakin banyak ketidakcocokan yang muncul, itu karena setelah satu atap dengannya, mau tidak mau tampaklah karakter atau sifat asli, kebiasaan-kebiasaan, juga masalah yang tidak sempat muncul di permukaan kala pacaran. Inilah yang harus dipahami oleh masing-masing pasangan.
Perbedaan karakter, sifat, serta kebiasaan-kebiasaan umumnya menjadi masalah dalam hal pengelolaan keuangan, pembagian peran dalam rumah tangga, penerimaan/penempatan diri dalam keluarga besar, hubungan intim, pembagian waktu antara pekerjaan dan rumah, sampai kesempatan bergaul dengan teman. Bila kemudian lahir anak pertama, maka dari polapengasuhan anak pun bisa timbul perbedaan.
Mempertemukan Kepentingan
Proses penyesuaian memang butuh perjuangan agar dapat memadukan perbedaan-perbedaan serta mempertemukan kepentingan-kepentingan yang muncul. Tentunya diperlukan saling pengertian dari kedua belah pihak serta kebesaran hati lewat komunikasi yang intens dan pas. Contohnya saja, dalam hal pengasuhan anak diperlukan kebesaran hati untuk bisa memasukkan kedua pola asuh yang berbeda atau merumuskan pola asuh yang pas.
Meski penyesuaian terus terjadi sepanjang usia pernikahan, hal-hal mendasar seperti metode pengelolaan keuangan, pola asuh anak, dan hal-hal lain yang disebutkan tadi diselesaikan di tahun-tahun pertama pernikahan. Mengapa? Bila dibiarkan berlarut-larut, terutama karena gengsi atau khawatir kehilangan kemesraan dan akhirkan dibiarkan saja, ganjalan ini dapat menjadi api dalam sekam dan memunculkan masalah-masalah baru. Hal ini tentunya akan mengancam keharmonisan hubungan selanjutnya.
Sebaliknya, bicarakan perbedaan-perbedaan yang ada dan lakukan penyesuaian-penyesuaian oleh suami istri agar ditemukan jalan tengahnya. Penyesuaian-penyesuaian ini sejatinya bisa menjadi peluang atau momentum bagi masing-masing untuk bisa saling mengenal, saling memahami lebih baik lagi pasangannya baik secara fisik, emosi, kebiasaan, minat, hobi, dan lain-lain. Jika keduanya berhasil melewatinya dengan baik, maka memasuki tahun-tahun selanjutnya akan terbentang landasan yang lebih kokoh lagi.
Introspeksi dan Toleransi
Pada dasarnya, pernikahan merupakan proses kerja sama dari kedua belah pihak. Jadi harus dipahami, dalam mengupayakan keharmonisan rumah tangga, cinta saja tidak cukup untuk dapat menghadapi semua permasalahan. Diperlukan pula kematangan dalam bersikap, kematangan emosi, dan kedewasaaan berpikir, kesediaan bertoleransi, serta komunikasi yangsehat.
Bila dalam kehidupan berumah tangga tersebut timbul konflik, maka kenali sumber konflik tersebut dan tantangannya.
Jadikan hal itu sebagai sarana untuk pasangan lebih melakukan introspeksi diri dan kembali ke konsep awal pernikahan.
Upayakan setiap konflik dapat terselesaikan dan mampu dibicarakan tanpa emosional. Caranya dengan mencari waktu yang tepat, semisal di saat santai, untuk membahasnya.
Pada saat membahas, jangan menyerang pribadi, tapi fokuslah pada masalah dalam kerangka kasih sayang. Jika semua masalah dikomunikasikan dengan baik dan dilakukan kesepakatan bersama tanpa dibuat rumit, maka potensi konflik yang muncul bisa dikurangi, bahkan dihilangkan.
(Dedeh Kurniasih/Tabloid Nakita) kompas.com
Sebetulnya tidak ada yang berubah pada sifat asli seseorang meskipun ia telah menikah. Kalaupun terlihat semakin banyak ketidakcocokan yang muncul, itu karena setelah satu atap dengannya, mau tidak mau tampaklah karakter atau sifat asli, kebiasaan-kebiasaan, juga masalah yang tidak sempat muncul di permukaan kala pacaran. Inilah yang harus dipahami oleh masing-masing pasangan.
Perbedaan karakter, sifat, serta kebiasaan-kebiasaan umumnya menjadi masalah dalam hal pengelolaan keuangan, pembagian peran dalam rumah tangga, penerimaan/penempatan diri dalam keluarga besar, hubungan intim, pembagian waktu antara pekerjaan dan rumah, sampai kesempatan bergaul dengan teman. Bila kemudian lahir anak pertama, maka dari polapengasuhan anak pun bisa timbul perbedaan.
Mempertemukan Kepentingan
Proses penyesuaian memang butuh perjuangan agar dapat memadukan perbedaan-perbedaan serta mempertemukan kepentingan-kepentingan yang muncul. Tentunya diperlukan saling pengertian dari kedua belah pihak serta kebesaran hati lewat komunikasi yang intens dan pas. Contohnya saja, dalam hal pengasuhan anak diperlukan kebesaran hati untuk bisa memasukkan kedua pola asuh yang berbeda atau merumuskan pola asuh yang pas.
Meski penyesuaian terus terjadi sepanjang usia pernikahan, hal-hal mendasar seperti metode pengelolaan keuangan, pola asuh anak, dan hal-hal lain yang disebutkan tadi diselesaikan di tahun-tahun pertama pernikahan. Mengapa? Bila dibiarkan berlarut-larut, terutama karena gengsi atau khawatir kehilangan kemesraan dan akhirkan dibiarkan saja, ganjalan ini dapat menjadi api dalam sekam dan memunculkan masalah-masalah baru. Hal ini tentunya akan mengancam keharmonisan hubungan selanjutnya.
Sebaliknya, bicarakan perbedaan-perbedaan yang ada dan lakukan penyesuaian-penyesuaian oleh suami istri agar ditemukan jalan tengahnya. Penyesuaian-penyesuaian ini sejatinya bisa menjadi peluang atau momentum bagi masing-masing untuk bisa saling mengenal, saling memahami lebih baik lagi pasangannya baik secara fisik, emosi, kebiasaan, minat, hobi, dan lain-lain. Jika keduanya berhasil melewatinya dengan baik, maka memasuki tahun-tahun selanjutnya akan terbentang landasan yang lebih kokoh lagi.
Introspeksi dan Toleransi
Pada dasarnya, pernikahan merupakan proses kerja sama dari kedua belah pihak. Jadi harus dipahami, dalam mengupayakan keharmonisan rumah tangga, cinta saja tidak cukup untuk dapat menghadapi semua permasalahan. Diperlukan pula kematangan dalam bersikap, kematangan emosi, dan kedewasaaan berpikir, kesediaan bertoleransi, serta komunikasi yangsehat.
Bila dalam kehidupan berumah tangga tersebut timbul konflik, maka kenali sumber konflik tersebut dan tantangannya.
Jadikan hal itu sebagai sarana untuk pasangan lebih melakukan introspeksi diri dan kembali ke konsep awal pernikahan.
Upayakan setiap konflik dapat terselesaikan dan mampu dibicarakan tanpa emosional. Caranya dengan mencari waktu yang tepat, semisal di saat santai, untuk membahasnya.
Pada saat membahas, jangan menyerang pribadi, tapi fokuslah pada masalah dalam kerangka kasih sayang. Jika semua masalah dikomunikasikan dengan baik dan dilakukan kesepakatan bersama tanpa dibuat rumit, maka potensi konflik yang muncul bisa dikurangi, bahkan dihilangkan.
(Dedeh Kurniasih/Tabloid Nakita) kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar